Bukan suatu rahasia bahwa dana pembangunan yang dikucurkan untuk pengadaan atau rehabilitasi sarana maupun prasarana suatu lembaga pemerintah, entah itu untuk pembangunan sarana gedung atau pembelian ballpoint, kurang lebih 11% lebih tinggi dari harga pasaran sebenarnya. Hal ini berkaitan dengan berbagai pos dari anggaran suatu rehabilitasi atau pembangunan selalu dinaikan (mark up) lebih kurang 10 - 20%, seperti umumnya proposal-proposal yang diajukan.
09 September 2009, seorang "pejabat" salah satu harian media cetak yang berbasis di Tasikmalaya, entah secara sengaja atau tidak, mengatakan, dana alokasi yang dikucurkan oleh pemerintah untuk suatu rehabilitasi, pembangunan, pengadaan, 11%-nya merupakan dana khusus untuk "dibagi-bagikan" kepada para siapa saja yang mau "mengusik" rehabilitasi, pembangunan, pengadaan yang sedang dilaksanakan, tidak terkecuali wartawan yang telah mengantongi undang-undang tentang kebebasan pers.
Masih menurut sumber tersebut, 11% itu bisa dibagikan kepada siapa saja yang mau "mengusik", atau mereka akan menanggung akibatnya ketika tim audit mengaudit hasil pekerjaan yang sedang dilakukan, berkenaan dengan kualitas pekerjaannya.
Sebagai wartawan dia mengatakan, dalam suatu rehabilitasi, pembangunan, pengadaan suatu lembaga pemerintah, pasti ada "kekurangan" dan itulah yang menjadi senjata bagi para wartawan untuk mendapatkan "tunjangan" dari proyek rehabilitasi, pembangunan, pengadaan yang sedang dilaksanakan, atau mereka akan memuat "kekurangan" tersebut di medianya. Sekali menyambangi suatu proyek, kadang 100 atau 500 ribu rupiah "uang dari rakyat" itu dapat mereka kumpulkan. Masalah berita untuk medianya bisa ditunda atau bahkan tidak akan masuk ke bagian produksi, dan semua aman. Itu apa yang dikatakannya.
Jadi jangan menjadi heran ketika suatu sarana atau prasana pemerintah yang baru 3 bulan atau satu semester sudah kembali menjadi bangkai dan tidak layak pakai. Hal ini berkenaan dengan kualitas dari rehabilitasi, pembangunan, pengadaan sarana dan prasana tersebut yang kadang tidak memenuhi sarat kualitas.
Dana "normatif" dari suatu proyek ini akhirnya menjadi suatu sarana untuk mendapatkan legitimasi "berbagai pihak" dari "berbagai pihak" dalam melaksanakan proses rehabilitasi, pembangunan, pengadaan. Apakah itu merupakan suatu bentuk korupsi?
Toleransi sebagai budaya timur ternyata sekarang ini telah mendapat tempat yang paling dielu-elukan di Indonesia ini, walaupun penempatannya hanya sebagai "kendaraan" untuk menguntungkan pribadi atau golongan tertentu saja.
Sistem pengawasan yang lebih banyak menutup mata mengakibatkan kejadian-kejadian seperti ini berubah menjadi suatu budaya, tidak hanya budaya para "tikus" (oknum, red.) tetapi lambat laun menjadi budaya "manusia" (orang Indonesia, Red.).
Undang-undang anti korupsi tidak akan mampu menjamah mereka, karena mereka telah "menutup semua link" agar mereka semua "aman" dan tidak akan "malu".
Haruskan KORUPSI menjadi BUDAYA Indonesia agar tidak ada lagi KORUPSI?
korupsi emang dah jadi budaya...budaya kita semua... suer... anyway moga kedepan kita bisa memperbaiki diri...
ReplyDelete