Tragedi Bom Ritz Carlton dan JW. Marriot
Untuk kesekian kalinya Indonesia berduka dan terluka lagi akibat ulah dari tangan-tangan orang yang tak bertanggung jawab.
Jum’at pagi ini (17-07-2009) masyarakat Jakarta khususnya dan umumnya masyarakat Indonesia dikejutkan lagi dengan peristiwa peledakan bom yang terjadi di hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta. Bom yang meledak di kedua hotel tersebut berlangsung dalam waktu yang bersamaan sekitar pukul 7.40 WIB.
Siapakah pelaku dan otak dari peristiwa ini? Tampaknya akan menjadi kerja keras dari pihak kepolisian dan pihak terkait lainnya untuk mengungkapkannya. Meski demikian, ada sebagian masyarakat yang berspekulasi bahwa pelaku dan otak dibalik peristiwa memilukan ini tertuju kepada kelompok lama di sekitar Noordin M. Top, sebagaimana disampaikan oleh Sidney Jones Direktur International Crisis Group (ICG).
Sidney Jones menduga pelaku pemboman di Hotel JW Manrriott dan Ritz Carlton adalah anggota kelompok Noordin M. Top. “Kalau benar polisi mengatakan kemungkinan bom bunuh diri, ini menuju ke kelompok lama di sekitar Noordin M. Top. Tapi itu baru spekulasi,” kata Sidney Jones
Menurut dia, aksi kelompok Noordin dapat dilihat dengan melihat pola yang digunakan saat pemboman. “Polanya dengan bom bunuh diri dengan target hotel”.
Sementara itu, seorang pejabat Istana Presiden yang tidak disebutkan namanya usai menengok lokasi kejadian Jumat siang mengatakan pihak Kepolisian telah mengantongi dugaan pelaku tersebut. “Dari kamera CCTV diduga pelaku adalah tamu hotel yang menginap dan meletakkan bom di kedua hotel itu dan pergi meninggalkan lokasi.
Yang paling menarik justru apa yang disampaikan Presiden SBY pada saat konferensi pers yang disiarkan melalui sebuah stasiun televisi yang menyampaikan bahwa peristiwa Bom Ritz Carlton-Marriott ini tidak menutup kemungkinan memiliki keterkaitan dengan hasil Pilpres 2009. Sambil memperlihatkan gambar-gambar temuan intelijen, SBY menduga ada segelintir orang yang menghendaki dirinya tidak jadi dilantik sebagai Presiden dan menghendaki Indonesia menjadi chaos seperti pasca pemilu di Iran.
Kita memahami bahwasanya manusia adalah makhluk sosial, karena itu manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Untuk melangsungkan kehidupannya manusia senantiasa hidup berkelompok. Ada kelompok berburu, kelompok tani, kelompok arisan, kelompok belajar, kelompok pecinta lingkungan hidup, dan lain-lain, tidak terkecuali kelompok perusuh atau teroris.
Selanjutnya, seseorang mungkin dilahirkan di rumah sakit, dididik di sekolah formal, mencari nafkah dengan bekerja di suatu perusahaan, mengadakan kegiatan sosial dengan aktif di organisasi kemasyarakatan dan sebagainya diatur oleh institusi/organisasi tertentu. Dengan demikian, kehidupan manusia tidak lepas dari sosial kemasyarakatan yang dimanifestasikan dalam kelompok sosial maupun organisasi sosial.
Pernyataan SBY di atas adalah hasil dari tekanan intelijen asing terhadap SBY, supaya SBY bersikap keras terhadap lawan politiknya berkaitan dengan Pilpres, untuk satu tujuan bagaimana menekan Islam fundamentalis. Menekan yang disebut Islam garis keras yang dipandang cukup bebas di masa reformasi ini.
Katakanlah itu skenario usang, prilaku jahat semacam itu memang sudah biasa. Sebagai Presiden, SBY membuka dengan statemen. Seakan-akan info dari intelijen ini adalah fakta. Padahal itu baru info intelijen, bahwa dicurigai ada orang yang sengaja menjadikan dia sebagai sasaran bidik dalam latihan. Padahal itu baru info bukan kesimpulan. Itu berdasarkan foto yang dikirim oleh seseorang. Kita tidak tahu apa motivasi dari orang itu (si pengirim foto-red).
Bom Marriot itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Indikasinya, Pertama, tidak ada tuntutan dari pelaku. Bom-bom di Afghanistan itu tuntutannya jelas, bebaskan tahanan.
Maka siapa pun pelakunya, apakah dia memperalat gerakan Islam, atau memperalat kelompok atau organisasi Islam, tetapi jelas, sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Tidak ada kaitannya dengan penegakkan syariat Islam di Indonesia yang dari dahulu hingga sekarang masih bergantung kuat pada organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang bergerak atas nama Islam. Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiah adalah contoh organisasi Islam yang eksis secara kontinyu menjaga segala budaya dan adat organisasinya, yang mereka klaim berdasarkan ajaran Islam.
Dilihat dari semua rentetan kejadian yang terjadi di Kuningan Jakarta belakangan ini, banyak pihak yang berkepentingan di wilayah tersebut. Daerah Kuningan di Jakarta merupakan salah satu jantung perekonomian Indonesia menyangkut hubungannya dengan luar negeri. Berangkat dari hal itu, bidang politik seperti yang disebutkan oleh SBY, atau bidang budaya seperti pernyataan beberapa pemuka agama Islam, tampaknya akan memerlukan kajian lebih dalam dan jauh, sebab secara tidak langsung, dengan terjadinya peledakan bom di Kuningan Jakarta ini, sedikit atau banyak akan mempengaruhi citra Indonesia di luar negeri, terutama berkaitan dengan pertimbangan keamanan investasi yang akan dilakukan di Indonesia.
Berangkat dari tinjauan di atas, sistem sosial dan budaya yang mengakar di Indonesia tampaknya harus ditinjau ulang. Dari beberapa sikap pejabat terkait, pemuka agama, atau bahkan pakar krisis Asia Tenggara, tampaknya pangkal utamanya adalah sikap orang Indonesia sendiri yang sekarang ini menjadi kurang peduli akan kondisi lingkungannya.
Sistem sosial yang menjadi dasar sikap pergaulan bangsa Indonesia tidak jarang malah menjadi bumerang, dimana ada rasa “segan” dan rasa kekerabatan yang tinggi terkadang menjadikan mengesampingkan aspek-aspek yang lainnya yang juga berjalan di lingkungan kemasyarakatan. Sistem budaya yang masih banyak melekat pada masyarakat Indonesia pada akhirnya menjadi parsial, dimana pilah-pilih menjadi tidak objektif dan akan selalu mengesampingkan segala sesuatu jika berhubungan dengan kekerabatan atau dengan atasan.
Salah kaprah penerapan corak sosial dan budaya ini tampaknya lepas dari pengawasan masyarakat sekarang ini. Marginalisme menjadi semakin kuat dimana penyisihan komponen-komponen atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat menjadi lebih kental. Berbagai aspek menjadi batas-batas pengkotak-kotakan, tidak terkecuali di lingkungan pejabat dan aparat pemerintahan.
Lunturnya budaya bangsa menyebabkan mudah masuknya sistem budaya luar. Dalam masa peralihan budaya ini, objektifitas masyarakat akan suatu budaya menjadi tidak lagi terkontrol, termasuk budaya luar yang individualis menjadi mudah sekali masuk dan mempengaruhi bahkan mengambil alih budaya asli Indonesia.
Untuk kesekian kalinya Indonesia berduka dan terluka lagi akibat ulah dari tangan-tangan orang yang tak bertanggung jawab.
Jum’at pagi ini (17-07-2009) masyarakat Jakarta khususnya dan umumnya masyarakat Indonesia dikejutkan lagi dengan peristiwa peledakan bom yang terjadi di hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta. Bom yang meledak di kedua hotel tersebut berlangsung dalam waktu yang bersamaan sekitar pukul 7.40 WIB.
Siapakah pelaku dan otak dari peristiwa ini? Tampaknya akan menjadi kerja keras dari pihak kepolisian dan pihak terkait lainnya untuk mengungkapkannya. Meski demikian, ada sebagian masyarakat yang berspekulasi bahwa pelaku dan otak dibalik peristiwa memilukan ini tertuju kepada kelompok lama di sekitar Noordin M. Top, sebagaimana disampaikan oleh Sidney Jones Direktur International Crisis Group (ICG).
Sidney Jones menduga pelaku pemboman di Hotel JW Manrriott dan Ritz Carlton adalah anggota kelompok Noordin M. Top. “Kalau benar polisi mengatakan kemungkinan bom bunuh diri, ini menuju ke kelompok lama di sekitar Noordin M. Top. Tapi itu baru spekulasi,” kata Sidney Jones
Menurut dia, aksi kelompok Noordin dapat dilihat dengan melihat pola yang digunakan saat pemboman. “Polanya dengan bom bunuh diri dengan target hotel”.
Sementara itu, seorang pejabat Istana Presiden yang tidak disebutkan namanya usai menengok lokasi kejadian Jumat siang mengatakan pihak Kepolisian telah mengantongi dugaan pelaku tersebut. “Dari kamera CCTV diduga pelaku adalah tamu hotel yang menginap dan meletakkan bom di kedua hotel itu dan pergi meninggalkan lokasi.
Yang paling menarik justru apa yang disampaikan Presiden SBY pada saat konferensi pers yang disiarkan melalui sebuah stasiun televisi yang menyampaikan bahwa peristiwa Bom Ritz Carlton-Marriott ini tidak menutup kemungkinan memiliki keterkaitan dengan hasil Pilpres 2009. Sambil memperlihatkan gambar-gambar temuan intelijen, SBY menduga ada segelintir orang yang menghendaki dirinya tidak jadi dilantik sebagai Presiden dan menghendaki Indonesia menjadi chaos seperti pasca pemilu di Iran.
Kita memahami bahwasanya manusia adalah makhluk sosial, karena itu manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Untuk melangsungkan kehidupannya manusia senantiasa hidup berkelompok. Ada kelompok berburu, kelompok tani, kelompok arisan, kelompok belajar, kelompok pecinta lingkungan hidup, dan lain-lain, tidak terkecuali kelompok perusuh atau teroris.
Selanjutnya, seseorang mungkin dilahirkan di rumah sakit, dididik di sekolah formal, mencari nafkah dengan bekerja di suatu perusahaan, mengadakan kegiatan sosial dengan aktif di organisasi kemasyarakatan dan sebagainya diatur oleh institusi/organisasi tertentu. Dengan demikian, kehidupan manusia tidak lepas dari sosial kemasyarakatan yang dimanifestasikan dalam kelompok sosial maupun organisasi sosial.
Pernyataan SBY di atas adalah hasil dari tekanan intelijen asing terhadap SBY, supaya SBY bersikap keras terhadap lawan politiknya berkaitan dengan Pilpres, untuk satu tujuan bagaimana menekan Islam fundamentalis. Menekan yang disebut Islam garis keras yang dipandang cukup bebas di masa reformasi ini.
Katakanlah itu skenario usang, prilaku jahat semacam itu memang sudah biasa. Sebagai Presiden, SBY membuka dengan statemen. Seakan-akan info dari intelijen ini adalah fakta. Padahal itu baru info intelijen, bahwa dicurigai ada orang yang sengaja menjadikan dia sebagai sasaran bidik dalam latihan. Padahal itu baru info bukan kesimpulan. Itu berdasarkan foto yang dikirim oleh seseorang. Kita tidak tahu apa motivasi dari orang itu (si pengirim foto-red).
Bom Marriot itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Indikasinya, Pertama, tidak ada tuntutan dari pelaku. Bom-bom di Afghanistan itu tuntutannya jelas, bebaskan tahanan.
Maka siapa pun pelakunya, apakah dia memperalat gerakan Islam, atau memperalat kelompok atau organisasi Islam, tetapi jelas, sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Tidak ada kaitannya dengan penegakkan syariat Islam di Indonesia yang dari dahulu hingga sekarang masih bergantung kuat pada organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang bergerak atas nama Islam. Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiah adalah contoh organisasi Islam yang eksis secara kontinyu menjaga segala budaya dan adat organisasinya, yang mereka klaim berdasarkan ajaran Islam.
Dilihat dari semua rentetan kejadian yang terjadi di Kuningan Jakarta belakangan ini, banyak pihak yang berkepentingan di wilayah tersebut. Daerah Kuningan di Jakarta merupakan salah satu jantung perekonomian Indonesia menyangkut hubungannya dengan luar negeri. Berangkat dari hal itu, bidang politik seperti yang disebutkan oleh SBY, atau bidang budaya seperti pernyataan beberapa pemuka agama Islam, tampaknya akan memerlukan kajian lebih dalam dan jauh, sebab secara tidak langsung, dengan terjadinya peledakan bom di Kuningan Jakarta ini, sedikit atau banyak akan mempengaruhi citra Indonesia di luar negeri, terutama berkaitan dengan pertimbangan keamanan investasi yang akan dilakukan di Indonesia.
Berangkat dari tinjauan di atas, sistem sosial dan budaya yang mengakar di Indonesia tampaknya harus ditinjau ulang. Dari beberapa sikap pejabat terkait, pemuka agama, atau bahkan pakar krisis Asia Tenggara, tampaknya pangkal utamanya adalah sikap orang Indonesia sendiri yang sekarang ini menjadi kurang peduli akan kondisi lingkungannya.
Sistem sosial yang menjadi dasar sikap pergaulan bangsa Indonesia tidak jarang malah menjadi bumerang, dimana ada rasa “segan” dan rasa kekerabatan yang tinggi terkadang menjadikan mengesampingkan aspek-aspek yang lainnya yang juga berjalan di lingkungan kemasyarakatan. Sistem budaya yang masih banyak melekat pada masyarakat Indonesia pada akhirnya menjadi parsial, dimana pilah-pilih menjadi tidak objektif dan akan selalu mengesampingkan segala sesuatu jika berhubungan dengan kekerabatan atau dengan atasan.
Salah kaprah penerapan corak sosial dan budaya ini tampaknya lepas dari pengawasan masyarakat sekarang ini. Marginalisme menjadi semakin kuat dimana penyisihan komponen-komponen atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat menjadi lebih kental. Berbagai aspek menjadi batas-batas pengkotak-kotakan, tidak terkecuali di lingkungan pejabat dan aparat pemerintahan.
Lunturnya budaya bangsa menyebabkan mudah masuknya sistem budaya luar. Dalam masa peralihan budaya ini, objektifitas masyarakat akan suatu budaya menjadi tidak lagi terkontrol, termasuk budaya luar yang individualis menjadi mudah sekali masuk dan mempengaruhi bahkan mengambil alih budaya asli Indonesia.
No comments:
Post a Comment